top of page
Search
  • Writer's picturekotakbekalid

Kondur Gangsa, Simbol Derma Sri Sultan

Updated: Jun 14, 2019


Prajurit Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengarak gamelan dengan meemainkan alat musik (201/11/18). Sumer: dokpri (Reysabel)

Barisan abdi dalem terlihat sedang berjalan keluar dari Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta pada Selasa 20 November 2018 pukul 21.30 WIB. Dengan mengenakan blangkon di kepala, surjan berwarna putih, jarik, dilengkapi dengan keris dan bertelanjang kaki, mereka berjalan bersama-sama menuju Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ternyata, mereka kembali ke Keraton setelah melaksanakan serangkaian prosesi yang memulai ritual Kondur Gangsa.


“Itu abdi dalem habis dari Masjid Gedhe, Mbak, mau ke Keraton,” ujar salah satu abdi dalem dengan logat medhok Jawa yang kental. Ia terlihat sedang membuka jalan yang penuh dengan kerumunan warga untuk para abdi dalem tersebut.


Hal tersebut merupakan salah satu rangkaian ritual Kondur Gangsa. Kondur Gangsa diambil dari dua kata Bahasa Jawa yaitu kondur dan gangsa. Kondur berarti pulang, dan gangsa berarti gamelan.


“Kondur Gangsa itu puncaknya Sekaten. Pas itu, gamelan Kyai Guntur Madu sama Kyai Nagawilaga balik ke Keraton setelah ditabuh tujuh hari berturut-turut di Pagongan,” ujar wiyaga Ngeksitomo yang telah ikut andil dalam upacara Kondur Gangsa selama kurang lebih 30 tahun lamanya.


Ritual Kondur Gangsa dimulai pada pukul 20.00 WIB. Pada malam yang berawan itu, warga dari berbagai kalangan mulai berkerumun untuk menonton ritual ini. Warga lokal hingga turis asing berdesakan sambil mengeluarkan kamera handphone hingga kamera profesional milik mereka. Mereka saling berdesakan demi mendapatkan tempat yang strategis untuk mendokumentasikan momen langka tersebut ataupun memperebutkan udik-udik yang nantinya akan disebar oleh Sri Sultan yang bertahta.



Antusiasme masyarakat untuk menyaksikan prsesi Kondur Gangsa

“Saya di sini sudah dari tadi sore, Mbak. Itu anak saya udah tak suruh ke depan. Biar dia yang ngambil recehannya,” ujar Umar (68) yang tengah menunggu ritual Kondur Gangsa dimulai sambil menghisap rokok di tengah jari telunjuk dan tengahnya.


Sekitar pukul 20.30 WIB, Sri Sultan hadir untuk menyebarkan udik-udik. Udik-udik disebarkan di Pagongan Kidul dan Lor serta Masjid Gedhe Kauman. Prosesi ini melambangkan derma yang dilakukan Ngarsa Dalem atau Sultan kepada rakyatnya. Udik-udik tersebut berisikan uang logam pecahan 500 rupiah, beras kuning, biji-bijian, dan kelopak bunga mawar. Udik-udik tersebut diperebutkan oleh warga. Prosesi ini menandakan dimulainya ritual yang ditunggu-tunggu yaitu Kondur Gangsa.


Udik-udik jadi rebutan warga, karena, ya, memang kepercayaannya bisa membawa berkah dan ketenteraman,” ujar MP Mursidi, salah satu Abdi Dalem di Keraton.

Prosesi penyebaran udik-udik diikuti dengan salam sapaan dari Sultan kepada rakyatnya.


Sultan menyapa masyarakat yang hadir dengan kewibawaannya. Selanjutnya, dilakukan pembacaan riwayat hidup hingga kematian Nabi Muhammad. Risalah Maulid Nabi Muhammad dibacakan oleh Abdi Dalem Penghulu. Prosesi ini dilanjutkan dengan persembahan Sumping Melati untuk Sultan. Sumping Melati adalah hiasan melati yang disisipkan di telinga Sultan. Prosesi ini melambangkan kesiapan Sultan untuk mendengarkan keluh kesah serta mengayomi rakyatnya. Prosesi selanjutnya adalah salam dari Sultan yang mempersilakan abdi dalem untuk kembali ke Keraton.



Gamelan Kyai Nagawilaga diarak menuju Masjid Gedhe

Ketika abdi dalem kembali ke Keraton, gamelan dipersiapkan untuk diarak menuju Keraton oleh para wiyaga berpakaian serba merah. Gamelan yang sudah ditabuh tujuh hari berturut-turut di Pagongan Lor dan Kidul akan dikembalikan ke Keraton. Penabuhan gamelan tujuh hari berturut-turut disebut Sekaten. Pada masa Sekaten, gamelan Kyai Guntur Madu disimpan di Pagongan Kidul, sedangkan gamelan Kyai Nagawilaga disimpan di Pagongan Lor. Gamelan-gamelan itu dikeluarkan dari pagongan oleh para wiyaga. Wiyaga adalah penabuh gamelan.


“Wiyaga Kyai Guntur Madu ngeluarin gamelannya yang ada di Pagongan Kidul, dan wiyaga Kyai Nagawilaga ngeluarin gamelan dari Pagongan Lor,” ujar wiyaga Ngeksitomo.

Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Nagawilaga diarak menuju Keraton dengan pengawalan prajurit Keraton. Prajurit Keraton mengawal gamelan menuju Keraton bersama wiyaga. Bregada Prawiratama yang berpakaian hitam mengawal Kyai Guntur Madu, sedangkan Bregada Jagakarya yang berpakaian lurik mengawal Kyai Nagawilaga menuju Keraton.


“Diaraknya dikawal sama prajurit Keraton, sambil bawa tombak sama alat musik. Kyai Guntur Madu dikawal Bregada Prawiratama, kalau Kyai Nagawilaga dikawal Bregada Jagakarya,” tutur wiyaga Ngeksitomo malam itu.


Bregada Jagakarya mengawal Gamelan Kyai Nagawilaga


Perarakan kedua gamelan tersebut mulai pada pukul 23.00 WIB, ketika masyarakat mulai kelelahan menunggu. Para prajurit, beserta wiyaga yang memikul gamelan berbaris di depan Pagongan. Mereka berjalan dengan mantap menuju Keraton diiringi alunan melodi terompet, drum, dan seruling khas Keraton yang prajurit mainkan. Antusiasme masyarakat yang tinggi membuat mereka berlomba-lomba mendapatkan tempat strategis untuk melihat barisan perarakan gamelan. Barisan tersebut keluar dari Masjid Gedhe Kauman menuju Alun-alun Lor. Arak-arakan berjalan menuju Keraton, tepatnya Bangsal Ponconiti. Bangsal Ponconiti merupakan tempat persemayaman kedua gamelan tersebut.


Bersemayamnya Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Nagawilaga di Bangsal Ponconiti menutup ritual Kondur Gangsa. Kondur Gangsa akan diikuti upacara Grebeg Maulud. Grebeg Maulud dilaksanakan pada keesokan harinya pada pukul 09.00 WIB di halaman Masjid Gedhe Kauman.



Penulis: Reysabel Ruviana

Editor: Cherry Meilany

379 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page