top of page
Search
  • Writer's picturekotakbekalid

Daun dan Bunga Yang Mengeluarkan Warna, Karya dan Laba

Updated: Jun 14, 2019


Kain hasil ecoprint
Kain Eco Print Sumber: dokpri (Yosef)

Lebih dari lima jenis daun berjejer diatas kain. Besi sepanjang 40 cm menjadi pondasi gulungan kain tersebut. “Setelah ini di steam, kita gak tahu nanti hasil akhirnya seperti apa, warnanya keluar atau enggak, surprise gitu!”, ujar Nessya Putri di bagian belakang kediamannya di Kalasan, Sabtu (1/12).­


Sambil memegang kain cetakan ecoprint pertamanya, gadis berusia 20 tahun itu menjelaskan bahwa ecoprint itu merupakan salah satu seni untuk mencetak gambar dari bahan-bahan yang alami, seperti dedaunan, bunga dan bisa diaplikasikan pada kain ataupun bahan lainnya. “Bisa di atas bahan-bahan yang natural seperti kain sutra, kain katun, dan kain-kain yang berserat alam, bisa juga kulit hewan, sekarang aku lagi belajar itu”, terang Nessya.


Berawal dari keinginannya untuk mengerjakan sesuatu yang menarik, Nessya berselancar di internet hingga menemukan ecoprint. Hal itu menginspirasinya untuk segera mencoba teknik tersebut. “Aku itu kan orangnya usil banget, gak bisa diem dan mengerjakan suatu hal yang sama dan konstan. Aku melihat banyak daun-daun yang jatuh, kira-kira bisa dimanfaatkan jadi apa ya ? akhirnya aku searching di Pinterest, nemuin ecoprint”, ucap Nessya.


Sejak tahun 2016 Nessya dan Ibunya, Prinseska Dewi, menghabiskan waktu yang cukup lama untuk bereksperimen sampai bisa menemukan sesuatu yang berbeda dengan kompetitor ecoprint lainnya. Sampai saat ini, Nessya dan ibunya masih melalui tahap pengembangan.



Nessya Putri Maharani

“kita harus punya point of difference, aku menghabiskan waktu yang cukup lama untuk eksperimen, sebenarnya Indonesia itu banyak banget lokalitas tanaman yang sebenarnya bisa kita eksplor untuk bisa menghasilkan yang lebih banyak dan lebih bagus”, ujar Ibunda Nessya yang akrab disapa Siska sambil melepaskan beberapa jenis daun dari batang-batangnya.


Uap panas yang membumbung dari wadah berwarna merah muda disebelah kain yang dijabarkan menandakan air masih cukup panas. Setiap daun-daun yang sudah lepas dari batangnya kemudian dicelupkan beberapa menit. Panasnya air tersebut membantu daun-daun yang masih kaku agar bisa sedikit lemas.“biasanya kita pakai daun mawar, daun kemiri, alpokat, jarak, daun ketapang. Kalau bunga ada bunga waru, bunga telang”, sebut Siska.


Sambil memercikkan air yang ada di lembaran daun dan ditata di atas sebuah kaos, Siska menjelaskan bahwa ecoprint memiliki dua teknik yaitu pounding dan rolling. Dalam teknik pounding, daun-daun yang sudah ditata dengan apik kemudian dipukul dengan palu khusus. Namun, sore itu Siska mempraktikkan teknik lainnya yaitu rolling.


Siska sedang menata daun di atas kain
Siska sedang menata daun di atas kain

Daun-daun yang sudah tertata kemudian dilapisi plastik dan kain yang sudah diberikan warna sebelumnya siap untuk digulung dengan besi. “harus kencang nih, supaya daunnya gak geser”, ucap Siska sambil menggulung kaosnya hingga urat-urat di lehernya muncul, tanda tenaganya dikerahkan.


“Kak, ambilkan tali kasurnya”, ucap Siska kepada Nessya yang saat itu sedang berada di sampingnya. Setelah kaos tersebut tergulung dengan rapi dan padat, Siska segera mengikatkan salah satu ujung tali kasur kemudian melilitkan seluruhnya sehingga sebagian gulungan tertutup dengan tali kasur.


“Habis ini kainnya kita steam, kira-kira dua jam”, ujar Siska. Siska mengaku dirinya lebih menyukai kainnya melalui proses steam atau kukus dibandingkan direbus. Proses tersebut memengaruhi warna yang akan keluar dari daun-daunnya. Tak selesai di tahap kukus, masih banyak tahap lanjutan untuk mengunci warna. “Kira-kira delapan sampai dua belas step per kain, waktunya sekitar dua minggu”, tambah Nessya sambil memutarkan tangannya untuk memastikan ikatannya sudah kuat.



Siska sedang menggulung kain
Siska sedang menggulung kain

Nessya dan Ibunya belum percaya diri untuk memasarkan lebih luas produknya. Hal tersebut dikarenakan mereka belum menemukan formula yang pas. “Aku belum bikin brand khusus buatku, masih dalam tahap developing”, jelas Nessya.


Dengan wajahnya yang yakin, Nessya menuturkan bahwa dia dan ibunya masih mencari cara untuk menjadikan karyanya merambah dunia industri. Ada ketakutan ketika karyanya sudah masuk ke dunia industri, karyanya diburu target dan waktu. “Sense of art­-nya itu yang terancam, karena uang dan target waktu, bikin gini gak bisa diburu-buru”, jelas Nessya.


Kedepannya Nessya ingin memasarkan produknya pada semua orang dengan strategi yang berbeda sesuai dengan klasifikasi ekonominya. Hal tersebut dikarenakan tidak semua orang ingin membeli kain ecoprint ukuran 150x250 cm dengan harga Rp800.000,- hingga Rp2.000.000,-.



Kain ecoprint

Gak semua orang ingin beli itu, kadang kalau sudah beli lembaran gitu, orang itu sayang untuk pake”, tambah Nessya. Dengan begitu, Nessya dan ibunya menyediakan produk ecoprint dalam bentuk barang seperti kaos, tas dan busana bagi anak muda dengan cetakan ecoprint yang simpel.


Nessya menimbang kalau dirinya dan ibunya masih tipikal orang seniman bukan produsen. “Art-nya duluan, bukan money”, pungkas gadis yang mengidolakan grup penyanyi Gamaliel Audrey Cantika (GAC).



Penulis: Yosef Aldi

Editor: Reysabel Ruviana

1,907 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page